PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
Bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian
Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara

DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini

Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
Dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

AKU
Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari
Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi

PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

HAMPA

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

DOA
Kepada pemeluk teguh


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

CahyaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku


Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap
Harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,

Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
Kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

DERAI DERAI CEMARA
Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

When you set up a Linux system's network, you typically assign one IP address per network interface card (NIC). This serves as the primary address for the NIC. For example, a firewall may have one Ethernet interface (e.g., eth0) assigned an external ISP-supplied IP, whereas the other interface (e.g., eth1) would have a local IP used on the local LAN.
But in a situation that requires multiple IP addresses on a machine (all of which connect to the same network), you don't need one NIC per IP address. Linux is capable of mapping multiple IP addresses to a single NIC by using IP aliasing.
To set up an IP alias, execute the following:
# ifconfig eth0:0 192.168.5.12 netmask 255.255.255.0 up
This assigns the IP address 192.168.5.12 to eth0 as the first alias (noted as eth0:0) on eth0. If you look at the output of ifconfig, you'll see the distinct IP address for eth0 and another for eth0:0.
If you need to add another IP address, just run the same command as root, and increment the alias number. In this example, the next alias number would be eth0:1.
On Mandrakelinux, Red Hat, and similar systems, you can make aliases automatic by creating files in /etc/sysconfig/network-scripts/. In this directory, create a new file called ifcfg-eth0:0 that contains the following contents:
IPADDR="192.168.5.12"NETMASK="255.255.255.0"
On systems that don't use these network scripts, just add the call to ifconfig directly in your startup script (usually /etc/rc.d/rc.local).